Biografi Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan
Jepara. Ia adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi
rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karir Mangunkusumo diawali
sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian
menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan
selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang.
Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang
tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan
anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu
Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah di Stovia, sementara
Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemeintah
Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delf,
Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi
Hukum di Jakarta.
Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap
yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai
Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een
begaald leerling”, atau murid yang berbakat adalah julukan yang
diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga mengalami
perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan
teman-temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih suka
menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya
pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan
dengan bahan lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap
lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya. Baginya,
Stovia adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan
berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan
lingkungan baru yang diskriminatif.
Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada
dirnya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen
diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah.
Bagi Cipto, peraturan berpakaian di Stovia merupakan perwujudan politik
kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat hanya
boleh dipakai dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi
yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang
tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat.
Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai
dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, pers
kolonial yang sangat progresif pada waktu itu, di samping Bataviaasch
Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De
Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang kondisi keadaan
masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik
hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber
penderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan
dalam masyarakat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya,
sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka. Keturunanlah yang
menentukan nasib seseorang, bukan keahlian atau kesanggupan. Seorang
anak “biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum
ningrat lainnya.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi
ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari
orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa
perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak,
kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik,
ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna.
Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga
dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang
secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di
sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar bola
dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna kulit.
Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering
mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan
kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah
dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang
tidak sedikit.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan
bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi
bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain
batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan
orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu
mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba
mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya Cipto
memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan
mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa
Belandanya yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.
Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai
bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo
di Yogyakarta, jatidiri politik Cipto semakin nampak. Walaupun kongres
diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun
pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum
progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis
mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman.
Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus
bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia.
Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari
hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan
Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan
yang bersifat Jawa.
Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah
kebudayaan keraton yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum
persoalan kebudayaan dapat dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan
masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi jamannya dianggap
radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang tinggi,
serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat
tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara
seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah
kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan
kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan
feodalisme.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya
mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili
aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi
Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesifnya.
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter
di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama
sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan
Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat.
Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu
dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische
Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan.
Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk
melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat
Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia
mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak
memandang suku, golongan, dan agama.
Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar
dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi
penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan
antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah
dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes
Dekker sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.
Pada Nopember 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari
Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di
Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan
terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi
Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun
kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut
Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan
akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina,
yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk
parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang
bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda
dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan
bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika
harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang
berjudul “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada
hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang
mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan
Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli
1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat
keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes
Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite
Bumi Putera.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker,
Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda
politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah
De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia
yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier
menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia
Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa
pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di
Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial
mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang
tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker
berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep
“Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang
diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische
Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal
Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang
kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde,
suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto
menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan
melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara
pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde
dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak,
kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar
Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda Cipto, jumlah
anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat
menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai
puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di
bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda.
Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische
Partij (NIP).
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan
Rakyat). Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara.
Pertama, calon-calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota,
kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang kedua melalui pengangkatan
yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van
Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar
Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya
dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh
Limburg Stirum adalah Cipto.
Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti,
Cipto memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran
dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik.
Meskipun Volksraad dianggap Cipto sebagai suatu kemajuan dalam sistem
politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya terhadap Volksraad yang
dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah
dengan kedok demokrasi.
Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya
mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam
menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan
ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di
perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28
gulden.
Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto
sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van
Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur
Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akan
tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah Jawa, Madura,
Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan
pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada
Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada
tahun itu juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi
masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung.
Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali membuka praktek dokter. Selama
tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan
sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.
Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda,
seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club.
Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional
Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam
Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang
pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara
pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin
Indonesia yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran
politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia
terjadi pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan
ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam
hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan
terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika pada
bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang
berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut
mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan
persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia bermaksud mengunjungi
keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu dia
memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang
itu tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto
kemudian memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.
Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan
gudang mesiu di Bandung, Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap
pengadilan karena dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota
komunis dengan memberi uang 10 gulden dan diketemukannya nama-nama
kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Sebagai hukumannya Cipto
kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.
Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian
mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto
diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke
Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan
bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto
kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke
Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal
pada 8 Maret 1943.
Biografi Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan
Jepara. Ia adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi
rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karir Mangunkusumo diawali
sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian
menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan
selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang.
Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang
tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan
anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu
Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah di Stovia, sementara
Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemeintah
Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delf,
Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi
Hukum di Jakarta.
Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap
yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai
Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een
begaald leerling”, atau murid yang berbakat adalah julukan yang
diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga mengalami
perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan
teman-temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih suka
menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya
pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan
dengan bahan lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap
lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya. Baginya,
Stovia adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan
berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan
lingkungan baru yang diskriminatif.
Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada
dirnya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen
diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah.
Bagi Cipto, peraturan berpakaian di Stovia merupakan perwujudan politik
kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat hanya
boleh dipakai dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi
yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang
tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat.
Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai
dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, pers
kolonial yang sangat progresif pada waktu itu, di samping Bataviaasch
Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De
Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang kondisi keadaan
masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik
hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber
penderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan
dalam masyarakat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya,
sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka. Keturunanlah yang
menentukan nasib seseorang, bukan keahlian atau kesanggupan. Seorang
anak “biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum
ningrat lainnya.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi
ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari
orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa
perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak,
kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik,
ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna.
Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga
dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang
secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di
sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar bola
dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna kulit.
Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering
mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan
kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah
dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang
tidak sedikit.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan
bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi
bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain
batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan
orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu
mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba
mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya Cipto
memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan
mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa
Belandanya yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.
Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai
bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo
di Yogyakarta, jatidiri politik Cipto semakin nampak. Walaupun kongres
diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun
pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum
progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis
mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman.
Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus
bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia.
Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari
hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan
Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan
yang bersifat Jawa.
Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah
kebudayaan keraton yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum
persoalan kebudayaan dapat dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan
masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi jamannya dianggap
radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang tinggi,
serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat
tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara
seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah
kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan
kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan
feodalisme.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya
mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili
aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi
Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesifnya.
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter
di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama
sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan
Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat.
Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu
dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische
Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan.
Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk
melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat
Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia
mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak
memandang suku, golongan, dan agama.
Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar
dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi
penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan
antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah
dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes
Dekker sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.
Pada Nopember 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari
Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di
Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan
terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi
Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun
kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut
Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan
akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina,
yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk
parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang
bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda
dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan
bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika
harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang
berjudul “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada
hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang
mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan
Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli
1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat
keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes
Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite
Bumi Putera.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker,
Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda
politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah
De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia
yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier
menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia
Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa
pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di
Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial
mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang
tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker
berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep
“Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang
diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische
Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal
Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang
kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde,
suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto
menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan
melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara
pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde
dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak,
kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar
Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda Cipto, jumlah
anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat
menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai
puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di
bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda.
Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische
Partij (NIP).
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan
Rakyat). Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara.
Pertama, calon-calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota,
kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang kedua melalui pengangkatan
yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van
Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar
Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya
dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh
Limburg Stirum adalah Cipto.
Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti,
Cipto memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran
dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik.
Meskipun Volksraad dianggap Cipto sebagai suatu kemajuan dalam sistem
politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya terhadap Volksraad yang
dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah
dengan kedok demokrasi.
Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya
mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam
menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan
ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di
perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28
gulden.
Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto
sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van
Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur
Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akan
tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah Jawa, Madura,
Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan
pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada
Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada
tahun itu juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi
masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung.
Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali membuka praktek dokter. Selama
tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan
sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.
Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda,
seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club.
Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional
Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam
Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang
pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara
pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin
Indonesia yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran
politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia
terjadi pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan
ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam
hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan
terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika pada
bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang
berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut
mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan
persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia bermaksud mengunjungi
keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu dia
memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang
itu tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto
kemudian memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.
Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan
gudang mesiu di Bandung, Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap
pengadilan karena dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota
komunis dengan memberi uang 10 gulden dan diketemukannya nama-nama
kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Sebagai hukumannya Cipto
kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.
Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian
mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto
diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke
Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan
bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto
kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke
Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal
pada 8 Maret 1943.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar